Efektifitas Hukum Islam

Kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan aparat penegak hukum semisal Polri, Kejaksaan dan Pengadilan benar-benar runtuh. Institusi yang diharapkan menjadi tempat mencari keadilan malah sering merampas rasa keadilan. Ketika masyarakat kecil ‘terpaksa’ berbuat kesalahan, vonis begitu cepat dijatuhkan. Sebaliknya, jika pejabat dan pengusaha besar berbuat kejahatan, hukum seolah menghilang. Betul kata banyak orang, keadilan memang sudah menjadi barang langka di negeri ini.

Runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan aparat penegak hukum memang bukan tanpa alasan. Lambat dan berbelit-belitnya proses hukum telah melahirkan mafia hukum yang ada hampir di setiap institusi. Tak ayal, kondisi itu membuahkan apatisme mendalam terhadap institusi dan aparat penegak hukum. Jika kondisi ini terus berlangsung, pelan tapi pasti akan terwujud distrust society. Setidaknya saat ini benih ketidakpercayaan tersebut teraktualisasi ketika sebagian masyarakat menyebut istilah-istilah hukum dengan sebutan bernada sinis. Dalam beberapa kesempatan, Pakar Hukum dari UNPAR, Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, mengutip istilah-istilah sinis yang berkembang luas di masyarakat: UUD=Ujung-Ujungnya Duit; KUHP=Kasih Uang Habis Perkara; HAKIM=Hubungi Aku Kalau Ingin Menang; JAKSA=Menginjak dan Memaksa; PENGACARA=Penghalalan Segala Cara; POLISI=Putar Otak dan Lihat Sana-Sini.

Tidak ada asap, kalau tidak ada api. Begitu kata pepatah. Munculnya istilah sinis (yang entah siapa yang menciptakan) adalah jelas bukti kekecewaan masyarakat terhadap keculasan sebagian aparat serta terhadap proses hukum minus keadilan. Jika hanya segelintir orang yang apatis terhadap proses hukum, boleh jadi hanyalah oknum. Namun, jika apatisme sudah menjangkiti sebagian besar masyarakat, berarti ada kesalahan sistemik.

Efektifitas Penegakkan Hukum Islam
Tidak diragukan lagi, hukum Islam yang diturunkan Allah SWT memiliki keunggulan dibandingkan dengan hukum sekular. Di antara keunggulan sistem hukum Islam adalah keefektifannya menekan angka kriminalitas; efektif membuat masyarakat taat dan sadar hukum; efektif menciptakan ketertiban masyarakat; efektif mencegah munculnya mafia hukum serta efektif mewujudkan keadilan yang hakiki.

Keberhasilan penegakkan hukum biasanya selalu mensyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum, yakni komponen substansi hukum (legal substance), komponen struktur hukum (legal structure) dan komponen budaya hukum (legal culture).
 
1. Substansi Hukum (Legal Substance)
Dalam Islam, hukum diciptakan Al-Khaliq, Allah SWT (lihat QS al-An’am [6]: 57; QS al-Maidah [5]: 44, 45, dan 49; QS an-Nisa’ [5]: 59 dan 65). Hukum ciptaan Allah SWT jelas akan efektif menutup celah bagi siapapun untuk bernegosiasi dan memesan hukum, karena siapa yang bisa negosiasi dan memesan hukum kepada Allah? Berbeda halnya dengan negara demokrasi yang memberikan kewenangan kepada manusia (wakil rakyat) untuk membuat hukum. Dengan adanya kewenangan manusia membuat produk hukum, celah untuk negosiasi dan memesan hukum terbuka lebar. Saat ini tidak sedikit UU yang dihasilkan DPR yang lebih menguntungkan kepentingan pemilik modal bahkan kepentingan asing daripada kepentingan rakyat banyak. Lihat saja UU Penanaman Modal, UU Ketenagalistrikan, UU Migas, UU Minerba, UU Sumber Daya Air, UU BHP dan banyak lagi lainnya.

Efisiensi juga akan terjadi ketika hukum dibuat oleh Allah, karena tentu tidak akan ada lembaga legislasi alias pembuat UU. Salah satu penyebab terjadinya inefisiensi (alias keborosan) dalam negara demokrasi sekular adalah karena setiap kali UU dibuat, setiap kali itu juga banyak uang digelontorkan, baik untuk rapat, biaya lembur hingga biaya suap agar UU yang dibuat sesuai dengan harapan pemilik modal.

Hukum yang berasal dari Allah SWT pasti membuahkan keadilan, karena Allah adalah Zat Yang Mahaadil. Hal ini tentu berbeda ketika hukum dibuat manusia. Manusia memiliki persepsi masing-masing tentang keadilan dan pasti membawa kepentingannya. Adil menurut A belum tentu menurut B. Begitupun sebaliknya. Hal tersebut menjadikan hukum yang dibuat manusia akan selalu memunculkan pertentangan dan perselisihan, karena pasti timbul kecurigaan dan kekhawatiran bahwa hukum yang dibuat membawa kepentingan seseorang atau kelompok tertentu. Dengan demikian, ketika hukum Islam diterapkan, maka akan muncul kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum dan aparatnya, karena mereka memahami bahwa hukum Allah pasti akan membawa kemaslahatan bagi ummat manusia, bukan hanya kemaslahatan untuk golongan dan agama tertentu saja.

Penerapan sanksi dalam hukum Islam juga memiliki filosofi yang tidak dimiliki hukum sekular, yakni zawâjir dan jawâbir. Zawâjir berarti bahwa sanksi akan dapat mencegah orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal. Hal tersebut karena sanksi dalam Islam sangat tegas dan keras sehingga orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukannya. Adapun jawâbir karena sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan dosa dan menggugurkan sanksinya di akhirat. Dengan demikian, jika hukum Islam diterapkan maka pasti akan efektif menekan angka kriminalitas dan penyimpangan hukum. Dalam rentang sejarah ratusan tahun penerapan hukum Islam, hanya terjadi 200 kasus tindak kriminal. Hukum Islam juga akan efektif menghukum pelaku maksiat karena mereka malah akan terdorong mendatangi aparat meminta dihukumi dengan hukum Islam, dengan harapan agar dosa-dosanya Allah hapuskan, seperti kisahnya al-Ghamidiyah yang justru meminta dirajam karena telah berbuat zina. Penerapan sanksi dalam Islam pun akan menciptakan efektifitas dan efisiensi besar-besaran, karena tidak semua pelaku kejahatan dipidana penjara. Sebagai contoh, orang yang terbukti mencuri–di atas seperempat dinar dan bukan karena untuk memenuhi kebutuhan mendesak—dikenakan sanksi potong tangan dan langsung dipulangkan. Hal ini tentu berbeda dengan hukum sekular. Dengan dalih kemanusiaan, semua pelaku kejahatan dipidana penjara. Padahal penjara boleh jadi merupakan ‘sekolah’ kejahatan. Masuk penjara karena mencuri sepeda motor, keluar dari penjara mencuri mobil. Selain itu, penjara juga merupakan beban tersendiri. Saat ini pun, kapasitas penjara sudah tidak lagi mampu menampung narapidana, belum lagi besarnya anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai operasional dan kebutuhan para narapidana, tentu sangatlah besar.

2. Struktur Hukum (Legal Structure)
Dalam struktur pemerintahan Islam, masing-masing lembaga negara, termasuk lembaga penegak hukum seperti peradilan (al-qodlo) dan departemen keamanan dalam negeri, yang di dalamnya ada satuan kepolisian (syurthah), memiliki fungsi masing-masing yang tidak tumpang tindih. Peradilan adalah lembaga negara yang menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Peradilan bertugas menyelesaikan perselisihan di antara anggota masyarakat, mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak-hak jamaah, atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dan seseorang yang duduk dalam struktur pemerintahan; baik ia seorang penguasa atau pegawai negeri, Khalifah ataupun selain Khalifah. 

Departemen Keamanan Dalam Negeri termasuk di dalamnya satuan kepolisian bertindak mencegah tindak kejahatan dengan mewaspadai, menjaga dan melakukan patroli; kemudian menerapkan hukuman-hukuman yang telah diputuskan qâdhî (hakim) terhadap orang yang melakukan pelanggaran atas harta, jiwa atau kehormatan. Semua itu dilakukan oleh satuan kepolisian (syurthah). Polisi diberi tugas untuk menjaga sistem, mengelola keamanan dalam negeri dan melaksanakan seluruh aspek implementatif. Polisi berperan sebagai kekuatan implementatif yang dibutuhkan oleh penguasa untuk menerapkan syariah, menjaga sistem dan melindungi keamanan; termasuk melakukan kegiatan patroli.

Dalam Islam, tidak ada institusi kejaksaan. Fungsinya menyatu dalam proses hukum di pengadilan. Dengan demikian, tentu perselisihan antara lembaga penegak hukum dapat dihindari, selain tentunya akan terjadi efisiensi SDM. Beda halnya dengan di negara sekular seperti Indonesia, kasus korupsi, misalnya, kewenangan penyidikannya bisa ditangani oleh 3 lembaga: Polri, Kejaksaan dan KPK. Konsekuensi dari tumpang tindihnya wewenang akan memunculkan dua ekses, yakni perselisihan atau sebaliknya, ‘perselingkuhan’ antarlembaga penegak hukum. Sebagai contoh ‘perselingkuhan’ jaksa dengan hakim biasanya dilakukan dengan cara jaksa secara sengaja membuat dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga dengan demikian terdakwa divonis bebas oleh hakim.

Salah satu sumber masalah dalam sistem hukum sekular adalah peradilan yang berjenjang, mulai dari Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) hingga Mahkamah Agung (MA). Dengan adanya peradilan yang berjenjang, kepastian hukum justru dipertanyakan, karena keputusan hakim sebelumnya bisa jadi dibatalkan oleh hakim pengadilan yang lebih tinggi. Begitu seterusnya. Selain itu, dengan adanya upaya hukum banding dan kasasi akan membuat proses peradilan menjadi sangat panjang. Panjangnya proses peradilan inilah yang akan membuka lebar celah munculnya mafia hukum. Selain itu, lamanya proses hukum tentu akan memakan biaya yang tidak sedikit.

Berbeda halnya dengan penegakkan hukum dalam Islam. Peradilan Islam tidak mengenal banding dan kasasi sehingga kepastian hukum akan terjamin. Dalam Islam, keputusan seorang hakim (qâdhi) tidak dapat dibatalkan oleh hakim lain, sebagaimana kaidah mengatakan: Al-Ijtihâdu lâ yunqadhu bi mitslihi. Dengan demikian, proses peradilan akan menjadi sangat cepat dan simpel sehingga akan efektif mencegah penumpukkan perkara, menutup celah lahirnya mafia hukum dan tentu sangat efisien alias murah.

Dalam peradilan Islam, tidak semua kasus diputuskan di ruang pengadilan. Sebagai contoh Qâdhi Hisbah, yakni qâdhi (hakim) yang mengurusi penyelesaian dalam penyimpangan (mukhâlafat) yang dapat membahayakan hak-hak jamaah, memberikan putusan secara langsung begitu ia mengetahuinya, di tempat manapun tanpa memerlukan sidang pengadilan. Dalam praktiknya, sejumlah polisi ditetapkan berada di bawah wewenangnya untuk mengeksekusi putusannya saat itu juga. Di antara aktifitas qâdhi hisbah adalah monitoring terhadap para pedagang (pelaku bisnis), para pekerja untuk mencegah mereka dari melakukan penipuan dalam perdagangan/bisnis mereka, pekerjaan dan hasil-hasil karya mereka, serta penggunaan takaran dan timbangan yang dapat membahayakan jamaah. Dengan demikian, proses pengadilan akan berlangsung sangat cepat dan efisien.

Dalam Islam, aparat diangkat dalam rangka melaksanakan hukum Allah SWT. Oleh karena itu, hanya orang yang memahami syariah Islam yang mungkin menjadi aparatur pemerintahan. Dengan demikian, tentu aparat penegak hukum dalam Islam akan memiliki dimensi ruhiah yang dominan sehingga lahir pengawasan melekat dari dalam diri mereka masing-masing. Selain itu, aparat negara juga dicukupi kebutuhan-kebutuhannya, sebagaimana dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dengan dasar tersebut, tentu akan efektif mencegah penyimpangan hukum aparat serta membuat aparat fokus terhadap pekerjaannya masing-masing.

3. Budaya Hukum (Legal Culture).
Di negara sekular, budaya hukum masih menjadi masalah yang besar. Orang taat hukum hanya karena kekerasan sanksi/hukumannya, bukan atas dorongan dari dalam diri masyarakat. Dalam kondisi tersebut, masyarakat harus terus diawasi oleh aparat hukum, semisal kepolisian, karena jika tidak diawasi maka akan terjadi kekacauan. 

Jumlah anggota Polri di seluruh Indonesia saat ini tercatat sekitar 363.000 orang atau 1:1500 atau lebih kecil lagi. Artinya, satu polisi harus mengawasi 1500 orang. Saat ini Indonesia sedang mengupayakan perbandingan ideal antara jumlah polisi dengan masyarakat sebagaimana standar PBB, yakni 1 berbanding 400 atau 300 penduduk. Jika demikian maka jumlah polisi yang dibutuhkan untuk mengawasi 200 juta penduduk sekitar 666.000 orang. Jumlah ini tidak sedikit tentunya.

Dalam masyarakat Islam, warga negara menaati hukum karena menaati perintah dan larangan Allah SWT, bukan sekadar takut terhadap hukuman atau aparat penegak hukum. Dengan demikian, ketertiban masyarakat akan terjaga, karena masyarakat menaati hukum karena dorongan kesadaran, selain tentunya pengawasan dari lembaga penegak hukum. Dengan itu, tentu tidak lagi diperlukan banyaknya anggota polisi untuk mengawasi masyarakat, karena masyarakat sudah merasa diawasi oleh Allah SWT. Tentu hal tersebut akan secara efektif mewujudkan masyarakat yang memiliki kesadaran hukum yang tinggi.

Khatimah
Demikianlah, keagungan hukum Islam tidak hanya dapat dibenarkan dengan keyakinan kepada Allah sebagai Al-Khaliq al-Mudabbir, tetapi telah dibuktikan secara empirik selama berabad lamanya dan dapat dijelaskan secara rasional dengan argumentasi yang sahih sehingga akan membuka mata siapapun yang selama ini tertutup oleh kekufuran hukum sekular. Wallâhu a’lam bis-shawâb. 

Luthfi Afandi, SH; Humas DPD HTI Jawa Barat

0 komentar: