JALAN MENUJU IMAN

Dari segi istilah, kita sering mendengar istilah ‘aqidah dan iman. Kedua istilah tersebut sebenarnya merupakan dua istilah yang mempunyai konotasi yang sama. Bedanya, istilah ‘aqidah ini digunakan oleh ulama’ Usluhuddin, sedangkan istilah iman digunakan oleh al-Qur’an dan Hadits. Sebab, di dalam al-Qur’an maupun Hadits tidak ada istilah lain selain iman.

Iman adalah keyakinan yang dibenarkan oleh hati dan diterima oleh akal, dibuktikan secara lisan juga perbuatan. keimanan haruslah bulat, tidak boleh setengah-setengah, harus 100%, tidak bisa kurang sedikitpun.

Adapun dalil yang bisa menghasilkan keyakinan dengan yakin 100% dan berhasil membentuk akidah adalah:

1.      Dalil aqli; bukti yang dibawa akal, dan bukan bukti yang dipahami oleh akal. Yang dimaksud dengan bukti yang dibawa akal adalah bukti yang bisa dijangkau oleh akal, ketika bukti tersebut dihasilkan oleh akumulasi dari realitas, penginderaan, otak dan informasi awal. Misalnya, bukti bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah adalah bukti yang dibawa oleh akal, bukan bukti yang dipahami oleh akal. Ini setelah realitas gaya bahasanya diindera oleh penginderaan manusia, lalu dibandingkan dengan gaya bahasa manusia, maka dari sana bisa disimpulkan bahwa al-Qur’an bukanlah kalam manusia, tetapi kalam Allah SWT.
2.      Dali naqli; bukti yang dipahami oleh akal melalui proses penukilan. Misalnya, bukti bahwa di surga ada bidadari yang menjadi isteri manusia, yang selalu disucikan oleh Allah, adalah bukti yang dipahami oleh akal manusia melalui penukilan, bukan bukti yang dibawa oleh akal. Karena realitasnya hanya bisa dipahami, tetapi tidak bisa dijangkau oleh indera manusia.

Agar manusia mendapatkan keimanan haruslah melalui proses berpikir, sebab pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap sesuatu. Disamping itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya di dalam kehidupan ini sesuai mafahimnya terhadap kehidupan. Sebagai contoh, mafahim seseorang terhadap orang yang dicintainya dengan orang yang dibencinya akan membentuk perilaku yang berbeda-beda, begitu juga terhadap orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Jadi, tingkah laku manusia selalu berkaitan erat dengan mafahim yang dimilikinya. Dengan demikian bila kita hendak mengubah tingkah laku manusia yang rendah menjadi luhur, maka tidak ada jalan lain kecuali harus mengubah mafhumnya terlebih dulu. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka (TQS. Ar-Ra’d (13): 11).

Untuk mendapatkan mafahim yang benar tentang kehidupan maka perlu mewujudkan suatu pemikiran yang mendasar tentang kehidupan dunia sehingga terwujud mafahim yang benar tentang kehidupan tersebut. Namun, pemikiran seperti ini tidak akan melekat erat dan memberikan hasil yang berarti, kecuali apabila terbentuk dalam dirinya pemikiran tentang alam semesta, manusia, dan hidup; tentang Zat yang ada sebelum kehidupan dunia dan apa yang ada sesudahnya; disamping juga keterkaitan kehidupan dunia dengan Zat yang ada sebelumnya dan apa yang ada sesudahnya. Semua itu dapat dicapai dengan memberikan kepada manusia pemikiran menyeluruh dan sempurna tentang apa yang ada di balik tiga utama unsur tadi. Sebab pemikiran yang menyeluruh dan sempurna merupakan landasan berpikir (qa’idah al-fikriyah) yang melahirkan seluruh pemikiran cabang tentang kehidupan dunia.

Memberikan pemikiran menyeluruh mengenai tiga unsur mendasar tadi, merupakan solusi fundamental pada diri manusia. Apabila solusi fundamental tadi teruraikan, maka terurailah berbagai masalah lainnya. Sebab, seluruh problematika kehidupan pada dasarnya merupakan cabang dari problematika pokok tadi. Namun demikian, pemecahan itu tidak akan mengantarkan kita pada keimanan yang benar, kecuali jika pemecahan itu sendiri adalah benar, yaitu sesuai fitrah manusia, memuaskan akal dan memberikan ketenangan hati.

Islam telah menuntaskan problematika pokok ini dan dipecahkan untuk manusia dengan cara yang sesuai dengan fitrahnya, memuaskan akal, serta memberikan ketenangan jiwa. Di tetapkannya pula bahwa untuk memeluk agama islam, tergantung sepenuhnya kepada pengakuan terhadap pemecahan ini, yaitu pengakuan yang betul-betul muncul dari akal. Oleh karena itu Islam dibangun di atas satu dasar, yaitu aqidah. Aqidah menjelaskan bahwa dibalik alam semesta, manusia, dan hidup, terdapat Pencipta (Al-Kholiq) yang telah menciptakan ketiganya, serta yang menciptakan segala sesuatu yang lainnya, Dialah Allah SWT. Bahwasannya Pencipta telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Ia bersifat wajibul wujud, wajib adanya, sebab kalau tidak demikian, berarti Ia tidak mampu menjadi  Kholiq. Ia bukanlah makhluk, karena sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukan makhluk. Pasti pula bahwa Ia mutlak adanya, karena segala sesuatu yang menyandarkan wujud atau eksistensinya kepada diri-Nya; sementara Ia tidak bersandar kepada apapun.

Bukti bahwa segala sesuatu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya, dapat diterangkan sebagai berikut: bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan hidup. Tiga unsur ini bersifat terbatas, lemah, serba kurang, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, manusia sifatnya terbatas, karena ia tumbuh dan berkembang sampai pada batas tertentu yang tidak dapat dilampauinya lagi. Ini menunjukkan bahwa manusia sifatnya terbatas. Begitu pula halnya dengan hidup, sifatnya terbatas, karena penampakkannya bersifat individual, apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa hidup ini selalu berakhir apda satu individu saja. Jadi, hidup juga bersifat terbatas. Sama halnya dengan alam semesta yang memiliki sifat terbatas. Alam semesta merupakan himpunan dari benda-benda angkasa, yang setiap bendanya memiliki keterbatasan. Himpunan segala sesuatu yang terbatas, tentu terbatas pula sifatnya. Walhasil, manusia, hidup, dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas.  

Apabila kita melihat kepada segala sesuatu yang bersifat terbatas, akan kita simpulkan bahwa semuanya tidak azali. Jika bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir), tentu tidak mempunyai keterbatasan. Dengan demikian segala sesuatu yang bersifat terbatas pasti diciptakan oleh "oleh sesuatu yang lain", "sesuatu yang lain" inilah yang disebut Al-Kholiq. Dialah yang menciptakan manusia, hidup dan alam semesta.

Dalam menentukan keberadaan Pencipta, akan kita dapati tiga kemungkinan.  Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Kedua Ia menciptakan dirinya sendiri. Ketiga Ia bersifat azali dan wajibul wujud. Kemungkinan yang pertama bahwa Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang bathil, tidak dapat diterima oleh akal. Sebab, bila benar demikian, tentu Ia bersifat terbatas. Begitu pula dengan kemungkinan yang kedua, yang menyatakan bahwa Ia menciptakan diri-Nya sendiri, jika demikian berarti Dia sebagai makhluk dan kholiq pada saat bersamaan. Hal ini jelas tidak dapat  diterima. Oleh karena itu, Al-Kholiq harus bersifat azali dan wajibul wujud. Dialah Allah SWT.

Siapa saja yang mempunyai akal akan mampu membuktikan bahwa di balik  semua benda-benda yang dapat diinderanya, pasti terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Fakta menunjukkan bahwa semua benda itu bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan. Hal ini menggambarkan segala sesuatu yang ada hanyalah makhluk. Jadi untuk membuktikan adanya Al-Kholiq Yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup dengan mengarahkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada di alam semesta, fenomena hidup, dan diri manusia sendiri.

Oleh karena itu dalam Al-Qur’an terdapat ajakan untuk mengalihkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada, seraya mengajaknya turut mengamati dan memfokuskan perhatian terhadap benda-benda tersebut dan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, atau yang berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Dengan mengamati benda-benda tersebut, bagaimana satu dengan yang lain saling membutuhkan, akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan dan pasti, akan adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur. Al-Qur’an telah membeberkan ratusan ayat yang berkenaan dengan hal ini, antara lain firman-firman Allah SWT:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal (TQS. Ali Imran (3): 190).

(Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah diciptakan-Nya langit dan bumi serta berlain-lainnannya bahasa dan warna kulitmu (TQS. Ar-Rum (30): 22)

Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan? (TQS. Al-Ghosyiyah (88): 17-20).

Banyak lagi ayat serupa lainnya, yang mengajak manusia untuk memperhatikan benda-benda yang ada di alam dengan seksama, dan melihat apa yang ada disekelilingnya maupun yang berhubungan dengan keberadaan dirinya. Ajakan itu untuk dijadikan petunjuk akan adanya Pencipta yang Maha Pengatur, sehingga imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakal pada akal dan bukti yang nyata.

Memang benar, iman kepada adanya Pencipta Yang Maha Pengatur merupakan hal yang fitri pada setiap manusia. Hanya saja iman yang fitri ini muncul dari perasaan yang berasal dari hati nurani belaka. Cara seperti ini bila dibiarkan begitu saja, tanpa dikaitkan dengan akal, sangatlah riskan akibatnya serta tidak dapat dipertahankan lama. Dalam kenyataannya, perasaaan tersebut sering menambah-nambah apa yang diimani, dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Bahkan ada yang mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang dianggap lumrah terhadap apa yang diimaninya. Tanpa sadar, cara tersebut justru menjerumuskannya ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong) dan ajaran kebatinan, tidak lain merupakan akibat kesalahan perasaan hati ini. Islam tidak membiarkan perasaan hati sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak menambah sifat-sifat Allah SWT dengan sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan, atau memberi kesempatan untuk mengkhayalkan penjelmaan-Nya dalam bentuk materi, atau beranggapan bahwa untuk mendekatkan diri kepada-Nya dapat ditempuh melalui penyembahan benda-benda, sehingga menjurus ke arah kekufuran, syirik, khurafat, dan imajinasi keliru yang senantiasa ditolak oleh iman yang lurus. Oleh karena itu, islam menegaskan agar senantiasa menggunakan akal disamping adanya perasaan hati. Islam mewajibkan setiap umatnya untuk menggunakan akal dalam beriman kepada Allah SWT, serta melarang bertaqlid dalam masalah aqidah. Untuk itulah islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah SWT, sebagaimana firman Allah:

Dengan demikian setiap muslim wajib menjadikan imannya betul-betul dari proses berpikir, selalu meneliti dan memperhatikan serta senantiasa bertakhim (merujuk) kepada akalnya secara mutlak dalam beriman kepada (adanya) Allah SWT. Ajakan untuk memperhatikan alam semesta dengan seksama, dalam rangka mencari sunnatullah serta untuk memperoleh petunjuk agar beriman terhadap Penciptanya, telah disebut ratusan kali oleh Al-Qur’an dalam berbagai surat yang berbeda. Semuanya ditujukan kepada potensi akal manusia untuk diajak berpikir dan merenung, sehingga imannya betul-betul muncul dari akal dan bukti yang nyata. Disamping untuk memperingatkannya agar tidak mengambil jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya, tanpa meneliti dan menguji kembali sejauh mana kebenarannya. Inilah iman yang diserukan oleh Islam. Iman semacam ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai imannya orang-orang lemah, melainkan iman yang berpijak pada pemikiran yang cemerlang dan meyakinkan, yang senantiasa mengamati (alam sekitarnya), berpikir dan berpikir. Mulai pengamatan dan perenungannya akan sampai kepada keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Kuasa.

Kendati wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam mencapai iman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin ia menjangkau apa yang ada di luar batas kemampuan indera dan akalnya. Sebab akal manusia terbatas. Terbatas pula kekuatannya sekalipun meningkat dan bertambah sampai batas yang tidak dapat dilampauinya, terbatas pula jangkauannya. Melihat kenyataan ini, maka perlu diingat bahwa akal tidak mampu memahami Zat Allah dan hakekat-Nya. Sebab, Allah SWT berada di luar tiga unsur pokok (alam semesta, manusia, dan hidup) tadi. Sedangkan akal manusia tidak mampu memahami apa yang ada di luar jangkauannya. Ia tidak mampu memahami Zat Allah, tetapi bukan berarti dapat dikatakan "Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Zat Allah?" Tentu  kita tidak mengatakan demikian, karena pada hakekatnya iman itu adalah percaya terhadap wujud Allah SWT, sedangkan wujudnya dapat diketahui melalui makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia dan hidup. Tiga unsur ini berada dalam batas jangkauan akal manusia. Dengan memahami ketiga hal ini, orang dapat memahami adanya Pencipta, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, iman terhadap adanya Allah SWT dapat dicapai melalui akal, dan berada dalam jangkauan akal. Usaha manusia untuk memahami hakekat Zat Allah SWT merupakan perkara yang mustahil untuk dicapai. Sebab, Zat Allah berada di luar unsur alam semesta, manusia dan hidup. Dengan kata lain berada di luar jangkauan kemampuan akal. Akal tidak mungkin memahami hakekat yang ada di luar batas kemampuannya, karena perannya amat terbatas. Seharusnya keterbatasnnya itu justru menjadi faktor penguat iman, bukan sebaliknya malah menjadi penyebab keragu-raguan dan kebimbangan.

Apabila iman kita kepada Allah SWT telah dicapai melalui proses berpikir, maka kesadaran kita terhadap adanya Allah menjadi sempurna. Begitu pula jika perasaan hati kita (yang timbul dari widjan, pent.) mengisyaratkan adanya Allah, lalu dikaitkan dengan akal, tentu perasaan tersebut akan mencapai suatu tingkat yang meyakinkan. Bahkan hal itu akan memberikan suatu pemahaman yang sempurna serta perasaan yang meyakinkan terhadap sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya, cara tersebut akan meyakinkan kita bahwa manusia tidak sanggup memahami hakekat Zat Allah. Sebaliknya hal ini justru akan memperkuat iman kita kepada-Nya. Disamping keyakinan seperti ini, kita wajib berserah diri terhadap semua yang dikabarkan Allah SWT tentang hal-hal yang tidak sanggup dicerna  atau yang tidak dapat dicapai oleh akal. Ini disebabkan lemahnya akal manusia yang memiliki ukuran-ukuran nisbi yang serba terbatas kemampuannya, untuk memahami apa yang ada di luar jangkauan akalnya. Padahal untuk memahami hal semacam ini, diperlukan ukuran-ukuran yang tidak nisbi dan tidak terbatas, yang justru tidak dimiliki dan tidak akan pernah dimiliki manusia.

Adapun bukti kebutuhan manusia terhadap para Rasul, dapat kita lihat dari fakta bahwa manusia adalah makhluk Allah SWT. Dan beragama adalh sesuatu yang fitri pada diri manusia, karena termasuk salah satu naluri yang ada pada manusia. Dalam fitrahnya manusia senantiasa mensucikan Penciptanya. Aktifitas inilah yang dinamakan ibadah, yang berfungsi sebagai tali penghubung antar manusia dengan Penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan begitu saja tanpa aturan, tentu akan menimbulkan kekacauan ibadah, bahkan dapat menyebabkan terjadinya penyembahan kepada selain Pencipta. Jadi harus ada aturan tertentu, yang mengatur hubungan ini dengan peraturan yang benar. Hanya saja, aturan ini tidak boleh datang dari manusia. Sebab, manusia tidak mampu memahami hakekat Al-Kholiq sehingga dapat meletakkan aturan antara dirinya dengan Pencipta. Oleh karena itu, aturan ini harus datang dari Al-Kholiq. Karena aturan ini harus sampai ke tangan manusia, maka tidak boleh tidak harus ada Rasul yang menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia.

Bukti lain kebutuhan manusia terhadap Rasul adalah bahwa pemuasan manusia terhadap tuntutan ghorizah (naluri) serta kebutuhan-kebutuhan jasmani, adalah keharusan yang sangat diperlukan. Pemuasan semacam ini jika dibiarkan berjalan tanpa aturan akan menjurus kearah pemuasan yang salah dan menyimpang, yang pada gilirannya akan menyebabkan kesengsaraan umat manusia. Dengan demikian, harus ada  aturan yang mengatur setiap naluri dan kebutuhan jasmani ini. Hanya saja aturan tersebut tidak boleh datang dari pihak manusia, sebab pemahaman manusia dalam mengatur naluri dan kebutuhan jasmani selalu berpeluang terjadi perbedaan, perselisihan, pertentangan dan terpengaruh lingkungan tempat tinggalnya. Apabila manusia dibiarkan membuat aturan sendiri, tentu aturan tersebut akan memungkinkan terjadinya perbedaan, perselisihan dan pertentangan yang justru akan menjerumuskannya ke dalam kesengsaraan. Maka aturan tersebut harus datang dari Allah SWT melalui para Rasul.
Mengenai bukti Al-Qur’an itu datang dari Allah, maka dapat dilihat dari kenyataan bahwa Al-Qur’an adalah sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Dalam menentukan darimana asal Al-Qur’an akan kita dapatkan tiga kemungkinan. Pertama, kitab itu adalah karangan orang Arab. Kedua, karangan Muhammad SAW. Ketiga, berasal dari Allah SWT. Tidak ada lagi kemungkinan selain dari yang tiga  ini. sebab, Al-Qur’an adalah berciri khas Arab, baik dari segi bahasa maupun gayanya.  

Kemungkinan pertama yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah karangan orang Arab, tidak dapat diterima. Sebab Al-Qur’an sendiri telah menantang mereka untuk membuat karya yang serupa, sebagaimana yang tertera dalam firman-Nya:  
Katakanlah: maka datangkanlah sepuluh surat yang (dapat) menyamainya. (TQS. Hud (11): 13).
Dan dalam firman-Nya:

Katakanlah: (‘kalau benar apa yang kamu katakan), maka cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya (TQS. Yunus (10): 38).

Orang-orang Arab telah berusaha keras mencobanya, akan tetapi tidak berhasil. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an bukan berasal dari perkataan mereka. Mereka tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, kendati ada tantangan dari Al-Qur’an dan mereka telah berusaha menjawab tantangan itu. Kemungkinan kedua yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu karangan Muhammad SAW, juga tidak dapat diterima oleh akal. Sebab Muhammad adalah orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetap ia seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dari masyarakat atau bangsanya. Selama seluruh bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula Muhammad   "yang juga salah seorang dari bangsa Arab " tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Oleh karena itu jelas, bahwa Al-Qur’an itu bukan karangannya.

Terlebih lagi dengan adanya banyak hadits-hadits shahih yang berasal dari Muhammad SAW " yang sebagian malah diriwayatkan lewat cara yang tawatur  " yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Apabila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al-Qur’an, maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasanya padahal Nabi Muhammad SAW, disamping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya, dalam waktu yang bersamaan juga mengeluarkan hadits. Namun, ternyata keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Bagaimanapun kerasnya usaha seseorang untuk menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap saja akan terjadi kemiripan antara gaya bahasa yang satu dengan yang lain, karena merupakan bagian dari ciri khasnya dalam berbicara. Karena tidak ada kemiripan antar gaya bahasa dalam al-Qur’an dengan gaya bahasa hadits, berarti Al-Qur’an itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW. Masing-masing keduanya terdapat perbedaan yang tegas dan jelas. Itulah sebabnya tidak seorangpun dari bangsa Arab " orang-orang yang paling tahu gaya dan sastra bahasa Arab " pernah menuduh nahwa Al-Qur’an itu perkataan Muhammad Saw, atau mirip dengan gaya bahasanya.

Satu-satunya tuduhan yang mereka lontarkan adalah bahwa Al-Qur’an itu disadur Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani yang bernama Jabr. Tuduhan ini telah ditolak keras oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

(Dan) sesungguhnya Kami mengetahui mereka berkata: bahwasannya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non-Arab), sedangkan Al-Qur’an itu dalam bahasa arab yang jelas (TQS. An-Nahl (16): 103).

Apabila telah terbukti bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan bangsa Arab, bukan pula karangan Muhammad SAW, berarti Al-Qur’an itu adalah kalamullah, yang menjadi mukjizat bagi orang yang membawanya.

Dan karena Nabi Muhammad SAW adalah orang yang membawa Al-Qur’an " yang merupakan kalamullah dan syari’at Allah, serta tidak ada yang membawa syari’at-Nya melainkan para Nabi dan Rasul " maka berdasarkan dalil aqli dapat diyakinisecara pasti bahwa Muhammad SAW itu adalh seorang Nabi dan Rasul.

Jadi dalil aqli adalah iman kepada Allah, kerasulan Muhammad SAW, dan bahwasannya Al-Qur’an itu merupakan kalamullah.

Jadi, iman kepada Allah dapat dicapai melalui akal dan memang harus demikian. Iman kepada Allah akan menjadi dasar kuat bagi kita untuk beriman terhadap perkara-perkara ghoib dan segala hal yang dikabarkan Allah SWT.  Jika kita telah beriman kepada Allah SWT yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap apa saja yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dijangkau oleh akal maupun tidak, karena semuanya dikabarkan oleh Allah SWT. Dari sini kita wajib beriman kepada Hari Kebangkitan dan Pengumpulan di Padang Mahsyar, Surga dan Neraka, hisab dan siksa. Juga beriman terhadap adanya malaikat, jin dan syaitan, serta apa saja yang telah diterangkan Al-Qur’an dan hadits yang qoth’i. Iman seperti ini walaupun telah diperoleh dengan jalan mengutip (naql) dan mendengar (sama’), akan tetapi pada hakekatnya merupakaniman yang aqli juga. Sebab dasarnya telah dibuktikan oleh akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar pada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti dasar kebenarannya oleh akal. Seorang muslim wajib meyakini segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang  yakin dan pasti (qath’i), yaitu apapun yang yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadits qoth’i , yaitu hadits mutawatir -. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash Al-Qur’an dan hadits mutawatir, haram baginya untuk mengimani. Aqidah tidak boleh diambil kesuali dengan jalan yang pasti.

Berdasarkan penjelasan ini, maka kita wajib beriman kepada apa yang ada sebelum kehidupan dunia, yaitu Allah SWT; dan kepada kehidupan setelah dunia, yaitu Hari Akhirat. Bila sudah diketahui bahwa penciptaan dan perintah-perintah Allah merupakan pokok pangkal kehidupan dunia, sedangkan perhitungan amal perbuatan manusia atas apa yang telah dikerjakannya di dunia merupakan mata rantai dengan kehidupan setelah dunia, maka kehidupan ini harus dihubungkan dengan apa yang ada dengan sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Manusia harus terikat dengan hubungan tersebut. Oleh karena itu, manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah, dan wajib meyakini bahwa ia akan di-hisab di hari kiamat nanti atas seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia.

Dengan demikian terbentuklah al-fikru al-mustanir tentang apa yang ada di balik alam semesta, hidup dan manusia. Telah terbentuk pula al-fikru al-mustanir tentang apa yang ada dengan sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Bahwasannya kehidupan tersebut memiliki hubungan antara apa yang ada dengan sebelum  dan sesudahnya, berarti terurailah problematika pokok secara sempurna dengan aqidah islamiyah.

Apabila manusia berhasil memecahkan perkara ini, maka ia dapat beralih memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan mafahim yang benar dan produktif tentang kehidupan ini. Pemecahan inilah yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu mabda (ideologi) yang dijadikan sebagai jalan menuju kebangkitan. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya hadlarah yaitu suatu peradaban yang bertitik tolak dari mabda tadi. Disamping yang menjadi dasar yang melahirkan peraturan-peraturan dan dasar berdirinya Negara Islam. Dengan demikian, dasar berdirinya Islam " baik secara fikrah (ide dasar) maupun thariqah (metoda pelaksanaan bagi fikrah) " adalah aqidah islam.

Allah SWT berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja yang mengingkari Allah dan Malaikat-Nya dan Kitab-Kitab-Nya dan Hari akhir maka ia telah sesat sejauh-jauh kesesatan (TQS. An-Nisa (4): 136).

Apabila semua itu telah terbukti, sedangkan iman kepada-Nya adalah sesuatu keharusan, maka wajib bagi setiap muslim untuk beriman kepada syariat Islam secara total. Karena seluruh syariat ini telah tercantum dalam Al-Qur’an dan dibawa oleh Rasulullah SAW. Apabila tidak beriman berarti ia kafir.

Oleh karena itu penolakan seseorang terhadap hukum-hukum syara’ secara keseluruhan, atau hukum-hukum qath’i secara rinci dapat menyebabkan kekafiran, baik hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadat, muamalah, ‘uqubat (sanksi), ataupun math’umat (yang berkaitan dengan makanan).

                                                                         Sumber: ‘Nidzomul Islam’; Taqiyuddin Annabhani dan 
                                                                                       ‘Islam Politik Spiritual’; Hafidz Abdurrahman.  


Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh  akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoi-Nya; dan akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa (QS An-Nur (24): 55).





1 komentar:

Unknown mengatakan...

izin share akhi